Minggu, 26 Mei 2013

Islam humanisme


Setiap orang islam yang taat menjalankan ajaran agamanya atau santri dan yang sadar akan tugas dan kewajiban keagamaanya, maka bisa dipastikan syariat atau ajaran islam sebagai sumber utama dan satu-satunya kebenaran dan tata nilai hidupnya, baik secara pribadi,keluarga,bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dilandasi dengan keyakinan bahwa tata nilai yang berasal dari sang pencipta pasti mutlak benarnya dan paling cocok untuk makhluknya, maka mereka akan senantiasa berusaha sekuat tenaga agar tata nilai kehidupan dari Allah ini menjadi tata nilai kehidupan manusia.
Islam adalah agama kemanusiaan. Oleh karena itu umat islam harus mengakui sepenuhnya kepada kemanusiaan. Kita tidak boleh serta-merta mengatas namakan agama sebagai dasar untuk melakukan tindak kekerasan, atau memaksakan agama terhadap orang lain. Pehaman agama sangat tergantung pada kapasitas intelektual dan tantangan zaman yang dihadapi serta kemampuan seseorang dalam mengamalkanya. Oleh karena itu, pemahaman agama jelas bersifat relatif.
Dewasa ini banyak tindak kekerasan yang mengatas namakan agama untuk mengklaim kebenaran sepihak untuk saling bunuh-membunuh. Ini disebabkan karena agama selalu mengajarkan kasih sayang yang luhur, sementara agama sendiri memicu untuk terjadi konflik.
Oleh karena itu sebaiknya beragama merupakan suatu proses pencarian kebenaran yang terus menerus. Selain itu, beragama juga bersifat terbuka mau menerima keberadaan agama lain, serta mau untuk menerima pendapat dan kritik dari orang lain.
Kesimpulan yang mendasari dari uraian tersebut, yakni sebaiknya bergama berprinsip pada al-hani fiyyah, al-sam’ah, semangat kebenaran serta perasaan lapang dada. Karena untuk mengungkap kebenaran sejati adalah tugas Allah dan tugas manusia hanyalah menghargai sesama manusia.

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      

Kooptasi Pluralitas



Menyadari tentang pluralitas (kemajemukan) masyarakat Indonesia, dan meyakininya sebagai sunnatullah. Pluralitas masyarakat yang menyangkut agama, etnis dan budaya adalah sebuah kenyataan dan rahmat dalam sejarah Islam sejak zaman Rasulullah.
Islam memberikan jaminan dan toleransinya dalam memelihara hubungan bersama dengan meletakkan nilai-nilai universal, seperti prinsip keadilan, kebersamaan, dan kejujuran dalam memelihara kehidupan bersama dengan tidak mengingkari adanya perbedaan dalam hal-hal tertentu.
Sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurot disebutkan bahwa sesungguhnya kita memang diciptakan dengan bersuku-suku dan bangsa agar saling mengenal satu sama lainya. Ini merupakan konsep dasar Qur’an dalam menanggapi perbedaan. Perbedaan merupakan rahmat Tuhan yang patut kita syukuri. Dan sikap Islam sendiri terhadap perbedaan bukanlah saling tidak peduli dan tidak mau tahu, melainkan harus saling menyangi dan menghormati. Demi terwujudnya rasa persatuan.
Rasa persatuan dalam kehidupan sosial, khususnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan salah satu hal yang diperlukan dalam kehidupan individu ataupun masyarakat. Dengan begitu berbagai tantangan yang mengganggu kehidupan sosial dan stabilitas nasional bisa diminimalisir.Sehingga rasa persatuan akan menjadikan perbedaan dalam masalah dalam masalah suku,ras, maupun agama sebagai rahmat bukan bencana. Sebeda apapun sebenarnya bukan masalah, jika komunitas manusia ini sadar dan memahami makna kasih sayang Tuhan.


Kedermawaan


Di kisahkan, ketika Abdullah bin Mubarak beribadah haji ia tertidur di dekat Hijir Ismail dan bermimpi bertemu dengan Rasulullah Saw. Beliau berkata kepadanya: “Bila kamu pulang ke Baghdad, maka datanglah  ke suatu desa dan carilah seorang Majusi bernama Bahram, sampaikan salamku padanya dan katakana, bahwa Allah Swt. Telah memberi ridha padanya.”
        Dia terbangun dan membaca hawqlah :

Ia menganggap bahwa mimpi itu dari setan. Kemudian ia mengambil wudhu, shalat dan thawaf mengelilingi ka’bah. Karena kelelahan ia tertidur dan bermimpi lagi seperti itu sampai tiga kali.
        Setelah sempurna menunaikan ibadah haji,Abdullah pulang ke Baghdad dan mencari desa yang di sebutkan oleh Rasulullah Saw. Dalam mimpinya itu. Sesampainya di desa itu ia bisa bertemu dengan seorang lelaki tua yang bernama Bahram. Ia bertanya :
        “Apakah kamu mempunyai sesuatu yang baik menurut Allah?”
        Bahram menjawab: “Ya, saya punya. Saya punya empat orang anak perempuan yang saya kawinkan dengan empat orang anak laki-laki saya.”
“Hal itu haram hukumnya, adakah sesuatu yang lain?”
“Ya. Saya mengadakan resepsi pada saat perkawinan anak-anak saya itu.”
        “Hal itu haram hukumnya, coba ceritakan yang lain lagi?”
        “Ya. Saya punya seorang anak perempuan satu lagi. Anak saya yang satu ini sangat cantik, sehingga saya kesulitan mencarikan suami yang sebanding dengannya. Akhirnya saya kawini sendiri.”
        “Hal itu juga haram. Mungkin ada sesuatu yang lain lagi?”
        “Ya. Pada saat pertama kali saya menyetubuhi anak saya hadir lebih seorang lebih dari seribu orang Majusi, menyaksikan persetubuhan itu.”
        “Hal itu juga haram. Coba ceritakan yang lain lagi.”
        “Ya, suatu malam sa’at saya menggauli anak saya, dating seorang perempuan Muslimah menyalakan lampu dirumahku lalu keluar rumah dengan mematikannya lebih dulu. Tingkah laku seperti itu diulangi sampai tiga kali. Aku berfikir perempuan itu mungkin mata-mata pencuri. Akhirnya kuikuti perempuan itu sampai dirumahnya. Ternyata dia punya banyak anak perempuan di rumahnya. Anak-anak itu bertanya kepada ibunya, apa ia membawa sesuatu untuk di makan, karena mereka sudah tidak tahan lagi menahan lapar. Mendengar pertanyaan anak-anaknya itu air mata matanya menetes dan mengatakan kepada mereka, bahwa ia  malu kepada Allah untuk meminta kepada selain-Nya. Apalagi kepada orang Majusi yang menjadi musuh Allah. Melihat keada’an yang menyedihkan itu, saya pulang. Saya mengambil sebuah nampan(baki) lalu kupenuhi dengan berbagai makanan dan kubawa sendiri ke rumah perempuan itu.”
        Mendengar cerita paling akhir itu, Abdullah berkata: “Ya. Itu merupakan amal baikmu. Ada kabar gembira untukmu yang kudapat dalam mimpiku.”
        Ia menceritakan pertemuannya dan percakapannya dengan Rasulullah Saw. Dalam mimpinya itu kepada Bahram. Lelaki Majusi itu gembira dan saat itu juga ia membaca syahadat, masuk islam. Ketika Bahram mati, Abdullah memandikannya, mengkafaninya, menyalatinya dan menguburkannya secara islami.
        Sejak itu Abdullah selalu menyerukan kepada hamba-hamba Allah agar mau mendermakan hartanya, karena kedermawanan akan mengubah seseoang dari status musuh Allah menjadi kekasih Allah.

Haji Bukan Bentuk Paganisme


Setelah berbagai bentuk peribadatan yang tergabung dalam untaian suci Ramadhan dan Syawwal, tidak lama lagi gawe besar islam yang selanjutnya pun tiba. Agenda tahunan yang telah terencana secara matang, bahkan tidak sedikit negara muslim yang berinisiatif membentuk organisasi, yang bergerak khusus menangani acara tersebut. Ada yang tahu agenda apakah itu,,,, ?
Ya, benar! Tidak lain dan tidak bukan adalah “Haji”.
Sebagai umat islam tulen, tentunya “Haji” bukanlah hal yang asing bagi kita. Meski mayoritas belum pernah menjalani, namun setidaknya melalui fasilitas media canggih masa kini, bisa cetak ataupun elektronika audiovisual semacam tv, gambaran umum mengenai realisasi dari pelaksanaan haji sudah dapat dikantongi. Di samping itu, penjelasan tentang haji pun biasanya diterangkan dengan panjang lebar oleh para tokoh agama di daerah kita, terutama yang pernah melaksanakan ibadah haji.
Sekilas Haji
Haji secara harfiah bermakna menyengaja.   Sedangkan secara syara’, haji berarti menyengaja berkunjung ke Baitullah dengan tujuan untuk beribadah kepada Allah SWT. Dalam sistematika rukun islam, haji termasuk rukun terakhir yang diwajibkan bagi umat islam. Namun perlu diperhatikan, bahwa beban taklifi yang terakhir ini baru akan diembankan kepada seseorang yang telah memenuhi syarat-syarat wajib haji yang jumlahnya ada 7. Diantaranya adalah beragama islam, baligh, berakal (sehat jasmani/rohani), memiliki kendaran (bagi orang yang jauh dari tanah haram lebih dari 2 marhalah), dan didukung dengan situasi lingkungan yang aman. Selain paparan syarat wajib tersebut, dalam haji pun ditentukan rukun-rukun yang akrab kita kenal dengan sebutan rukun haji. Diantaranya ada 4, yaitu ihram sembari niat haji, wukuf di tanah Arafah, thawaf di Baitullah, dan sa’i/lari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwah. Itulah haji, amalan sakral yang kian waktu kian digandrungi oleh umat muslim seluruh dunia.
Disayangkan, kesakralan itu pernah sedikit terusik dengan munculnya opini tak berdasar yang menyatakan bahwa,”Thawaf dalam pelaksanaan haji, tak ubahnya seperti upacara pagan yang dijalani oleh umat zaman jahiliyah. Apalagi ritual sa’I antara Shafa dan Marwah, yang juga serupa dengan apa yang  telah dilakukan oleh kaum jahiliyah sebelum Muhammad”.  Bagaimana sikap kita menghadapi tantangan semacam itu, yang jelas-jelas dimaksudkan untuk memecah belah umat islam?
Bukan Paganisme
Secara historis, kaum jahiliyah pra-kenabian Muhammad memang pernah menjadikan tempat-tempat yang sekarang ini digunakan ritual haji, sebagai tempat pemujaan. Dan sudah menjadi adat mereka untuk berlari kecil antara Shafa dan Marwah sambil berteriak memuja-muja berhala. Sehingga paska kerosulan Muhammad yang selanjutnya muncul kewajiban melakukan haji, dianggap sebagai amalan yang tidak ada bedanya dengan adat jahiliah.
Presepsi semacam itulah yang sebenarnya perlu diluruskan. Memang terkadang ada benarnya, jika dikatakan bahwa sesuatu yang ada setelah terwujudnya hal serupa sebelumnya, berarti dianggap plagiat. Namun, konteks haji di sini berbeda,  Ia  termasuk dalam bagian rukun islam adalah karena diperintahkan oleh Allah demikian, dan bukan akal-akalan semata. Di dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat ; 158 disebutkan
اان الصفا و المروة من شعائر الله
Sesungguhnya Shafa dan Marwah merupakan sebagian diantara tanda agama Allah.
Jadi, selama suatu opini yang muncul tidak memiliki dasar yang kuat, apalagi yang bersumber dari orang yang ilmu agamanya kurang atau bahkan yang non-muslim, seyogyanya kita tidak perlu cemas. Apalagi ikut terpengaruh mengakafirkan ribuan bahkan jutaan jamaah haji di tanah suci. Sebaliknya, kita harus bersikap tenang dan bijak dalam menyikapi masalah baru terutama yang menyangkut khalayak ramai. Dan di dalam konteks haji ini, Allah SWT berfirman
فول وجهك شطر المسجد الحرام
Hadapkanlah dadamu kea rah Masjidil Haram.
Dengan demikian, semua ritual itu sebenarnya adalah wujud dari taat kita kepada Allah SWT Tuhan semesta alam. Untuk sebagian orang yang terlihat berlebihan dalam mengagungkan ka’bah, mereka sebenarnya hanyalah menerapkan konsep tabarruk yang sah-sah saja dilakukan. Semoga bermanfaat !